ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005-2007
(Oleh : M.Afif Setiawan)
a. Pendahuluan
Setelah lebih dari tiga dekade upaya-upaya pembangunan perkotaan dan pedesaan di
Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang melakukan studi pertumbuhan ekonomi seluruh propinsi-propinsi yang ada di Indonesia, menemukan bahwa telah terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Indonesia, dan propinsi-propinsi dengan pertumbuhan PDRB per kapita tinggi didominasi oleh propinsi-propinsi yang ada di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya propinsi yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Sejak tahun 2001, dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (sekarang kedua UU di atas sudah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004), maka pemerintah daerah di Indonesia memiliki kewenangan yang seluas-luasnya dalam pelaksanaan pemerintahan dan pengaturan keuangan daerahnya masing-masing. Dengan demikian, pertumbuhan daerah diharapkan menjadi lebih optimal dan mampu mengurangi disparitas yang terjadi antar daerah dan antar propinsi.
Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Pada tingkat permulaan, pembangunan ekonomi dibarengi pula dengan pertumbuhan dan sebaliknya (Irwan dan M. Suparmoko, 1988). Sumitro Djojohadikusumo (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional, baik negara maju/kaya maupun negara terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dimulai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan. Namun demikian penyebaran pertumbuhan pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya, kekuatan antara negara maju dan negara berkembang tidak seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan antara kelompok negara kaya dan negara miskin.
Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan sauatu pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 1999).
Kondisi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di
b. Gambaran Umum Wilayah Jawa Tengah
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya 5o40' dan 8o30' Lintang Selatan dan antara 108o30' dan 111o30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk pulau Karimunjawa).
Secara administratif Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota. Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa (1,70 persen luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1,00 juta hektar (30,80 persen) lahan sawah dan 2,25 juta hektar (69,20 persen) bukan lahan sawah.
Menurut penggunaannya, luas lahan sawah terbesar berpengairan teknis (38,26 persen); selainnya berpengairan setengah teknis, tadah hujan dan lain-lain. Dengan teknik irigasi yang baik, potensi lahan sawah yang dapat ditanami padi lebih dari dua kali sebesar 69,56 persen.
Berikutnya lahan kering yang dipakai untuk tegalan/kebun/ladang/huma sebesar 34,36 persen dari total bukan lahan sawah. Persentase tersebut merupakan yang terbesar, dibandingkan presentase penggunaan bukan lahan sawah yang lain.
c. Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah.
Thee Kian Wie, (1981) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan dari sudut pandangan ekonomi dibagi menjadi :
1. Ketimpangan pembangian pendapatan antar golongan penerima pendapatan (size distribution oncome);
2. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural income disparities);
3. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah (regional income disparities);
Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah.
Menurut Myrdal (dalam Sadono S, 1981) dalam jangka panjang pendapatan perkapita antar daerah cenderung timpang. Perbedaan tersebut menurutnya disebabkan adanya dua faktor yaitu backwash effect dan spread effect. Pembangunan ekonomi antar wilayah akan menimbukan adanya backwash effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekuilibrium. Spread effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antara daerah-daerah kaya dan daerah daerah miskin. Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pula permintaannya terhadap produk dari daerah yang tertinggal seperti hasil pertanian dan hasil industri barang konsumsi, dengan demikian akan yang menimbulkan pertumbuhan.
Myrdal menyatakan sebab-sebab kurang mampunya daerah terbelakang berkembang secepat daerah yang maju. Hal tersebut disebabkan karena keadaan backwash effect, yang menyebabkan daerah terbelakang menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengembangkan ekonominya. Dari masa ke masa daerah yang lebih maju akan menjadi daya penarik bagi penduduk daerah terbelakang, untuk mengadakan migrasi karena adanya keyakinan untuk mendapatkan gaji yang lebih baik/ prasarana sosial yang lebih baik di daerah yang lebih maju.
Freedman's (1966) menyatakan bahwa atas dasar kenyataan pada sejarah proses pembangunan spasial menekankan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai kecenderungan untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang diawali oleh arus urbanisasi yang kemudian diikuti oleh pembangunan sarana dan prasarana. Perroux menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak merata terjadi di berbagai daerah, tetapi mengelompok pada pusat-pusat pertumbuhan dan hal ini akan menentukan perkembangan ekonomi daerah lain yang lebih lambat perkembangan ekonominya.
Teori Pusat Pengembangan (Growth Poles Theory) akan dapat merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah (Sjafrizal, 1983:15). Teori ini dapat menggabungkan kebijakan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan secara terpadu. Kebijaksanaan pusat pengembangan yang dilakukan oleh suatu negara dapat dikatakan berhasil dari segi pandangan nasional tetapi gagal dalam dari sudut pembangunan wilayah. Kebijaksanaan pusat pengembangan yang hanya tertuju pada beberapa tempat saja bila tidak hati-hati dapat memperbesar jurang kemakmuran antara penduduk yang berada di dalam pusat dan dengan yang berada di luarnya.
Teori Hechsher-Ohlin (Amirrudin, 1992:55) yang dikenal sebagai teori H-O menjelaskan pula penyebab kesenjangan antar daerah. Hechsher-Ohlin mencoba menjawab mengapa perdagangan cenderung pada suatu wilayah tertentu dan menuju pada polarisasi. Hechsher-Ohlin percaya pada endowment factor yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga daerah mempunyai comparative adventage dibanding yang lain dan ini dapat menaikan pendapatan daerah tersebut. Hilhorst (1968) menyangkal pendapat teori H-O yang menyatakan keunggulan comparative sebagai penyebab terjadinya perdagangan inter-regional.
Menurut Hilhorst (Hilhorst dalam Amirrudin 1992), ada faktor-faktor lain sebagai penyebab perdagangan inter-regional misalnya kelancaran transportasi dan komunikasi muncul dan kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan kemudahankemudahan serta adanya jalinan kerjasama antar sesama rekanan usaha.. Dengan adanya transportasi dan komunikasi, faktor-faktor produksi yang inmobil (tidak bergerak) diantara dua wilayah mulai hilang dan faktor endowment cenderung merata. Kebijakan alokasi investasi regional menjadi penting bila tujuan pembangunan wilayah yang dicapai yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, karena dengan hal itu dapat ditentukan prioritas - prioritas yang akan dilaksanakan (Sjafrizal, 1983:17).
Keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Namun pada kenyataannya potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar wilayah. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Fenomena-fenomena tersebut diatas dapat memicu timbulnya disparitas pemanfaatan ruang antar wilayah, tidak terkecuali juga untuk wilayah propinsi Jawa Tengah.
d. Analisis Ketimpangan Ekonomi Wilayah di Jawa Tengah dengan Index Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson.
Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi (Safrizal, 1997).
Ketimpangan Pembangunan Ekonomi diukur dengan menggunakan rumus Indeks Williamson, dimana pendapatan diukur dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Dalam pembahasan kita kali ini kita akan mencoba menganalisis ketimpangan ekonomi di Jawa Tengah dari tahun 2005 sampai tahun 2007. Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1.
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang perkembangan masing-masing daerah dari segi pemerataan pembangunan, dapat diamati dengan menggunakan indeks ketimpangan pembangunan antar daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson. Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus sebagai berikut (Safrizal, 1997) :
Vw = Indeks Williamson.
fi = Jumlah penduduk masing-masing Kabupaten/Kota di Propinsi
Jawa Tengah
n = Jumlah penduduk di Propinsi Jawa Tengah
yi = Pendapatan per kapita masing-masing Kabupaten/Kota.
y= Rata-rata pendapatan per kapita di Propinsi Jawa Tengah.
Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1.
Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi.
TABEL PDRB KABUPATEN DAN PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005, 2006, 2007
No. | Kabupaten/ | PDRB Kabupaten Perkapita (Yi) | PDRB Provinsi Perkapita (Y) | ||||
2005 | 2006 | 2007 | 2005 | 2006 | 2007 | ||
1. | Kab. Cilacap | 5,920,051.68 | 5,920,054.68 | 6,181,619.60 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
2. | Kab. Banyumas | 2,350,297.29 | 2,435,837.83 | 2,527,456.19 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
3. | Kab. Purbalingga | 2,206,705.04 | 2,288,042.01 | 2,414,087.86 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
4. | Kab. Banjarnegara | 2,548,258.17 | 2,640,296.51 | 2,753,624.17 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
5. | Kab. Kebumen | 1,956,228.58 | 2,020,859.66 | 2,096,036.27 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
6. | Kab. Purworejo | 3,244,703.31 | 3,405,602.61 | 3,602,376.69 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
7. | Kab. Wonosobo | 2,037,774.43 | 2,099,787.23 | 2,164,192.89 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
8. | Kab. Magelang | 2,775,166.30 | 2,887,185.78 | 3,021,263.63 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
9. | Kab. Boyolali | 3,675,934.47 | 3,822,175.15 | 3,964,173.55 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
10. | Kab. Klaten | 3,238,691.94 | 3,290,470.00 | 3,392,004.66 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
11. | Kab. Sukoharjo | 4,818,034.82 | 5,000,457.94 | 5,222,682.35 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
12. | Kab. Wonogiri | 2,170,894.89 | 2,250,979.60 | 2,307,122.31 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
13. | Kab. Karanganyar | 5,012,698.89 | 5,230,684.26 | 5,488,427.15 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
14. | Kab. Sragen | 2,710,505.84 | 2,836,602.95 | 2,982,978.18 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
15. | Kab. Grobogan | 1,891,154.53 | 1,951,803.63 | 2,024,502.39 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
16. | Kab. Blora | 1,996,970.88 | 2,066,973.02 | 2,140,855.73 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
17. | Kab. Rembang | 3,099,997.44 | 3,238,868.99 | 3,349,670.90 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
18. | Kab. Pati | 2,972,742.60 | 3,047,379.38 | 3,182,123.72 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
19. | Kab. Kudus | 14,503,318.17 | 14,764,840.32 | 15,125,939.88 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
20. | Kab. Jepara | 3,181,597.65 | 3,359,013.36 | 3,467,371.77 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
21. | Kab. Demak | 2,384,185.87 | 2,464,338.34 | 2,561,166.64 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
22. | Kab. | 5,012,978.15 | 5,182,888.83 | 5,410,191.08 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
23. | Kab. Temanggung | 2,893,926.46 | 2,946,488.03 | 3,030,590.13 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
24. | Kab. Kendal | 4,737,587.18 | 4,886,278.72 | 5,072,827.59 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
25. | Kab. Batang | 2,873,355.38 | 2,921,290.64 | 3,001,962.03 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
26. | Kab. Pekalongan | 3,046,776.00 | 3,046,868.37 | 3,152,304.95 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
27. | Kab. Pemalang | 2,090,137.29 | 2,166,802.07 | 2,189,239.46 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
28. | Kab. Tegal | 1,909,758.16 | 2,001,591.66 | 2,097,288.40 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
29. | Kab. Brebes | 2,521,554.95 | 2,629,439.55 | 2,742,704.05 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
30. | 7,488,622.11 | 7,612,207.32 | 7,828,477.85 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 | |
31. | 7,220,682.75 | 7,930,485.11 | 8,351,806.79 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 | |
32. | 4,103,405.42 | 4,329,214.83 | 4,537,406.85 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 | |
33. | 11,503,021.77 | 12,053,021.77 | 12,516,956.47 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 | |
34. | 6,371,499.78 | 6,536,290.72 | 6,691,426.93 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 | |
35. | 4,087,745.14 | 4,291,327.99 | 4,502,553.60 | 4,488,092.42 | 4,689,985.08 | 4,913,801.20 |
Sumber : Data PDRB Jawa Tengah 2005, 2006, 2007.
e. Tingkat Ketimpangan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus indeks Williamson, dapat diketahui tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005 samapai tahun 2007 cenderung meningkat.
Seperti dicantumkan dalam lampiran, index Williamson untuk tahun 2005 adalah: 0.624, kemudian tahun 2006 adalah : 0.622, dan tahun 2007 adalah : 0.617. Dengan melihat hal peningkatan tersebut menandakan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah yang semakin meningkat. (Lihat perhitungan lengkapnya dalam lampiran).
Kemudian setelah diketahui ketimpangan antar wilayah kabupaten di jawa tengah, selanjutnya dihitung juga analisis pengaruh sektor tertentu terhadap PDRB Kabupaten di Jawa Tengah. Pada perhitungan kali ini kita akan mencoba menghitung tingkat ketimpangan menggunakan Index Williamson dengan tanpa melibatkan sektor Perdagangan, Hotel, Restoran.
Tujuan dari perhitungan dan analisis dengan mengurangi sektor Perdagangan, Hotel, Restoran adalah untuk mengukur tingkat/signifikansi sektor tersebut dalam mempengaruhi PDRB Kabupaten. Dengan analisa tersebut nantinya dapat diketahui kira-kira seberapa signifikan sektor Perdagangan, Hotel, Restoran dalam mempengaruhi tingkat PDRB untuk selanjutnya dapat diketahui seberapa peran sektor tersebut mempengaruhi ketimpangan/disparitas ekonomi wilayah.
Dari hasil analisis perhitungan didapatkan nilai Index Williamson sebagai berikut: untuk tahun 2005 adalah: 0.560, kemudian tahun 2006 adalah : 0.568, dan tahun 2007 adalah : 0.569.
Dengan melihat hal peningkatan tersebut menandakan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah yang semakin meningkat, selain itu juga dapat dikatakan bahwa sektor Perdagangan, Hotel, Restoran cukup signifikan dalam mempengaruhi tingkat ketimpangan antar wilayah di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. (Lihat perhitungan lengkapnya dalam lampiran).
f. Penutup
- Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kesenjangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson selama periode 2005-2007 menunjukkan ketimpangan semakin melebar.
Nilai ketimpangan tersebut dapat dibuktikan dengan perhitungan index Williamson untuk tahun 2005 adalah: 0.624, kemudian tahun 2006 adalah : 0.622, dan tahun 2007 adalah : 0.617. Dengan melihat hal peningkatan tersebut menandakan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah yang semakin meningkat.
- Saran
Untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah di Provinsi Jawa Tengah, maka perlu dilakukan:
1. Meningkatkan investasi swasta dengan memberikan kemudahan- kemudahan dan insentif investasi sehingga investor mau menamkan modalnya. Investasi juga diarahkan pada daerah-daerah yang kurang maju dengan membangun sarana dan prasarana yang mendukung dalam berinvestasi.
2. Peningkatan jumlah angkatan kerja harus diimbangi dengan kesempatan kerja yang lebih banyak. Tentunya dengan kegiatan investasi di atas dapat meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja sebaiknya juga diciptakan pada semua daerah dan tidak mementingkan daerah tertentu.
3. Adanya ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah menyebabkan pentingnya bantuan pembangunan dari pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang diberikan pemerintah pusat kepada kabupaten/kota hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di daerah masing-masing sehingga diharapkan daerah yang tertinggal mampu mengejar daerah yang sudah maju. Agar penggunaan dana bantuan pembangunan optimal, perlu ditingkatkan peran pengawasan baik oleh institusi yang berwenang maupun masyarakat.
Amirudin, Ardani. 1992. Analysis of Regional Growth and Disparity The Impac Analysis of the INPRES Project on
BPS Provinsi Jawa Tengah. 2005 - 2007. Pendapatan Regional Jawa Tengah, Buku Jawa Tengah dalam angka, Semarang : BPS Provinsi Jawa Tengah.
Garcia, J.G. dan L. Soelistianingsih. 1998. “Why Do Differences in Provincial Income Persist in
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=2568&Itemid=1348
http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengah
Irwan dan Suparmoko, 1987. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta :
Sumitro Djojohadikusumo (1987). Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita 1969/1970 – 1988/1989. CPS ISEI, Jakarta, 1989.
Sjafrizal, 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Jakarta, Jurnal Buletin Prisma.
Todaro, Michael P. 1990, Ekonomi Pembangunan Di Dunia Ketiga, Jakarta : Erlangga.
Thee Kian Wie. 1981. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan.
Wibisono, Y. 2001. “Determinan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Empiris Antar Propinsi di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol 1 No 2, 52-83.